Berbicara atau menulis konservasi alam, erat kaitannya dengan pelestarian alam. Ia tak bisa dipisahkan, satu kesatuan, dan terikat satu sama lain. Baik dalam pengertian kontekstual maupun dalam aplikasi di lapangan. Namun, berbicara soal konservasi alam, jauh sebelum kita memasuki abad modern seperti saat ini, Islam sebenarnya sudah mengajarkan soal pelestarian alam. Ini artinya, jangan menilai jika sebutan pelestarian alam atau istilah konservasi baru dikenal di abad 20 saja, tapi jauh ke belakang, pelestarian alam sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Sebagai agama yang rahmatan lil alamin, kehadiran Islam hakekatnya tak hanya diperuntukkan bagi manusia saja, tetapi juga untuk alam semesta ini, dengan tujuan agar berlangsung secara seimbang rotasi kehidupan di muka bumi. Itulah esensi dari rahmatan lil alamien. Yakni, manusia yang ditunjuk sebagai khalifah harus memberikan rahmat dan manfaat bagi seluruh alam semesta ini.
Namun, saat ini memang kenyataannya berbanding terbalik. Agama seolah hanya untuk manusia saja, bukan untuk bumi. Bumi hanya menjadi second class atau kelas kedua. Karena selama ini alam semesta hanya dinilai sebagai kelas kedua maka pada akhirnya ia hanya menjadi obyek eksploitasi dari kita sebagai manusia, yang ditunjuk Tuhan sebagai wakilnya di muka bumi. Padahal diutusnya kita manusia sebagai wakil Tuhan di bumi atau khalifah fi al-ardhi bukan lantas berhak jadi sewenang-wenang atas alam, bahkan menilai alam menjadi lebih rendah sehingga pantas untuk dieksploitasi.
Bukan untuk maksud dan tujuan seperti itu Allah Swt. menciptakan kita. Namun, sebagai makhluk yang tertinggi, justru Allah menciptakan kita agar dapat memperlakukan alam dengan penuh kasih sayang. Namun sekarang, lihat sekeliling kita, lingkungan kita. Betapa manusia begitu menyia-nyiakan alam yang telah menjadi anugerah dari Allah. Pohon-pohon dibabat habis, hutan dibakar. Dalam hal ini, Al-Qur’an sendiri telah menyatakan bahwa segala jenis kerusakan yang terjadi di permukaan bumi merupakan akibat dari ulah tangan manusia dalam berinteraksi terhadap lingkungan hidupnya. Jadi, jika kini kita merasakan kabut asap yang tiap tahun melanda, atau bencana banjir jika musim hujan tiba, itu akibat dari perbuatan kita sendiri yang berasal dari hawa nafsu kita.
Salah satu pakar Islam yakni Ibnu Taimiyah dalam Taqi ad-Din Ahmad ibn Taimiyah mengatakan, “Telah diketahui bahwa dalam makhluk-makhluk ini Allah menunjukkan maksud-maksud yang lain dari melayani manusia, dan lebih besar dari melayani manusia: Dia hanya menjelaskan kepada anak-cucu Adam apa manfaat yang ada padanya dan apa anugrah yang Allah berikan kepada ummat manusia.”
Ini berarti bahwa secara sistematik, para pakar Islam terdahulu sesungguhnya telah mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup dan konservasi alam, sebagaimana tercermin dari kata-kata Ibnu Taimiyah diatas. Pasalnya, Islam membawa kemaslahatan dan perbaikan (ishlah) terhadap bumi.
Sebagai utusan Allah Swt. di muka bumi, teladan Rasulullah Saw. begitu nyata terlihat. Beliau menunjukkan kepeduliannya pada soal pelestarian alam. Meskipun, istilahnya bukan konservasi, melainkan prinsip, semangat dan praktek konservasi telah dilakukan Rasulullah dan sahabatnya melalui kawasan lindung (hima), kawasan larangan (al Harim), dan menghidupkan lahan yang terlantar (Ihya al mawaat) serta pemenuhan hak-hak kehidupan liar, baik satwa maupun tumbuhan.
Dalam catatan sejarah, meskipun keterangannya masih diragukan, masyarakat Arab telah mengenal hima sebagai instrumen konservasi. Sebelum kedatangan Rasulullah Saw. Pada era pra-Islam, hima sering digunakan untuk melindungi suku-suku nomaden tertentu dari musim kemarau yang panjang. Hima yang cenderung subur karena mengandung banyak air dan rumput digunakan sebagai tempat menggembala ternak. Para pemimpin suku saat itu mengartikan bahwa hima merupakan salah satu istilah yang tepat untuk diterjemahkan menjadi kawasan lindung atau protected area (dalam istilah sekarang). Hima juga merupakan istilah yang paling mewakili untuk diketengahkan sebagai perbandingan kata dan istilah untuk kawasan konservasi: taman nasional, suaka alam, hutan lindung, dan suaka margasatwa.
Dalam sebuah Riwayat Muslim dijelaskan, bahwa sesungguhnya pionir hima dicontohkan pada dua kota suci yakni Mekkah dan Madinah sejak zaman Rasulullah Saw. Beliau mengumumkan hal itu saat penaklukan Mekah melalui sabdanya, “Suci karena kesucian yang diterapkan Allah padanya hingga hari kebangkitan. Belukar pohon-pohonnya tidak boleh ditebang, hewan-hewannya tidak boleh diganggu dan rerumputan yang baru tumbuh tidak boleh dipotong.”
Bahkan dalam Hadist Riwayat Muslim dikatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mencagarkan kawasan sekitar Madinah sebagai hima guna melindungi lembah, padang rumput, dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Sabdanya, “Sesungguhnya Ibrahim memaklumkan Mekkah sebagai tempat suci dan sekarang aku memaklumkan Madinah, yang terletak antara dua lava mengalir (lembah), sebagai tempat suci. Pohon-pohonnya tidak boleh ditebang dan binatang-binatangnya tidak boleh diburu.”
Sahabat Abu Hurairah mengatakan, “Bila aku menemukan rusa di tempat antara dua lava mengalir, aku tidak akan mengganggunya; dan dia (Nabi) juga menetapkan dua belas mil sekeliling Madinah sebagai kawasan terlindung (hima).” (HR. Muslim). Dalam riwayat Al-Bukhari, Nabi juga melarang masyarakat mengolah tanah tersebut karena lahan itu untuk kemaslahatan umum dan kepentingan pelestarian. Dalam sebuah hadistnya, Rasulullah Saw. bersabda: tidak ada hima kecuali milik Allah dan Rasulnya (Riwayat Al Bukhari).
Oleh karena itu, hima sebagai upaya konservasi alam dalam ajaran Islam telah berumur lebih dari 1.400 tahun. Praktek ini merupakan cara konservasi tertua yang dijumpai di Semenanjung Arabia, bahkan mungkin tertua di dunia. Hal ini diakui FAO sebagai contoh pengelolaan kawasan lindung paling bertahan di dunia.
Lihatlah, betapa konservasi alam sudah menjadi bagian terpenting dalam hidup Rasulullah Saw. Tugasnya sebagai nabi, ternyata tak hanya meluruskan akhlak umat manusia, tapi juga perlakuan kita terhadap alam yang notabene adalah benda mati secara harfiah. Sekarang, bandingkan dengan istilah konservasi yang kerap didengung-dengungkan oleh para elit politik yang penuh dengan kepentingan. Alih-alih berkoar-koar pelestarian alam, sadar kawasan dan cagar alam namun dengan dalih potensi wisata yang mampu menggerakkan ekonomi kerakyatan, rambu-rambu pelestarian alam pun dilabrak.
Inilah yang saat ini tengah terjadi pada Pulau Sempu yang berada di Provinsi Jawa Timur. Pulau yang kerap disebut sebagai salah satu serpihan surga yang jatuh di Indonesia ini, nasibnya kini berada dalam ancaman para wisatawan. Hal ini menyusul adanya rencana akan dibukanya taman wisata alam di pulau seluas 887 hektare tersebut.
Dikutip di laman http://www.radarmalang.id, ihwal terancamnya Pulau Sempu itu berawal dari surat permohonan pemerintah Desa Tambakrejo, Sumbermanjing Wetan pada 2015 lalu. Dalam permohonan itu, pemerintah desa ingin agar keindahan Pulau Sempu yang berada di kawasan Pantai Sendangbiru itu bisa dinikmati masyarakat umum.
Padahal, selama ini, Pulau Sempu sudah menjadi kawasan konservasi. Karena kawasan konservasi, maka pulau tersebut terbatas hanya untuk penelitian dan kajian ilmu pengetahuan. Jadi, tak sembarang orang bisa masuk, kecuali ada izin khusus dari Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Surabaya. Namun, meski ada larangan berwisata ke kawasan cagar alam itu, toh faktanya, setiap hari ada ratusan orang masuk ke Pulau Sempu secara ilegal. Karena itu, daripada berwisata sembunyi-sembunyi, pemerintah desa meminta agar Pulau Sempu dilegalkan untuk menjadi wisata umum.
Ironisnya lagi, setali tiga uang dengan Pemdes, Bupati Malang Rendra Kresna mendukung jika Pulau Sempu dibuka untuk wisatawan. Namun, ada syarat khusus, yakni tak boleh ada pembangunan fisik permanen berbahan bata dan semen di dalam Pulau Sempu. Selain itu, status konservasi tetap harus dijaga.
Lagi dan lagi, kita kerap berlindung di balik penyingkapan informasi akan suatu daerah atau alasan lainnya yang sekiranya bisa masuk akal, sehingga menjadi sah untuk dijadikan lokasi kegiatan alam terbuka. Pulau Sempu dan cagar-cagar alam lainnya perlahan tapi pasti akan bernasib sama, hanya tinggal menunggu waktu saja. Apalagi jika para pemegang keputusan di daerah tersebut adalah orang-orang partai yang notabene berkecimpung dalam politik, maka cagar alam yang berpotensi menjadi wisata yang diandalkan, hanya tinggal menunggu momentum yang tepat saja untuk digantikan menjadi kawasan wisata.
Tak percaya? Lihat saja Gunung Burangrang di Bandung, Jawa Barat. Gunung yang punya ketinggian 2.064 meter diatas permukasaan laut termasuk cagar alam. Ini dibuktikan dengan adanya Surat Keputusan Mentri Pertanian Nomor 479/Kpts/Um/8/1979. Namun, lihatlah yang terjadi selama ini. Bukan rahasia umum lagi, jika sampai saat ini gunung yang terletak di kawasan Bandung utara (KBU) dan terpisahkan oleh sebuah lembah besar dengan Gunung Tangkuban Perahu itu, menjadi arena atau lokasi spesial dalam berkegiatan di alam terbuka.
Padahal, di mana aturannya cagar alam boleh dijadikan kawasan untuk berkegiatan di alam terbuka. Dalam konteks pengertian cagar alam jelas sudah, bahwa cagar alam adalah suatu kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Cagar alam menjadi bagian dari kawasan konservasi (Kawasan Suaka Alam), maka kegiatan wisata atau kegiatan lain yang bersifat komersial, tak boleh dilakukan di dalam area cagar alam.
Kawasan itu disebut cagar alam karena dalam kawasan tersebut dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Artinya, pengelolaan cagar alam sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan kawasan. Upaya pengawetan kawasan cagar alam dilaksanakan dalam bentuk kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan, dan penelitian serta pengembangan yang menunjang pengawetan.
Upaya pengawetan itu dilaksanakan dengan ketentuan dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa. Dan, termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan kawasan di antaranya, melakukan perburuan terhadap satwa yang berada di dalam kawasan; memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa bukan asli kedalam kawasan; memotong, merusak, mengambil, menebang, dan memusnahkan tumbuhan dan satwa dalam dan dari kawasan; menggali atau membuat lubang pada tanah yang mengganggu kehidupan. Tumbuhan dan satwa dalam kawasan; atau mengubah bentang alam kawasan yang mengusik atau mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa.
Suatu kegiatan dapat dianggap sebagai tindakan permulaan melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam poin 2, apabila melakukan perbuatan, memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan; atau membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil, mengangkut, menebang, membelah, merusak, berburu, memusnahkan satwa dan tumbuhan ke dan dari dalam kawasan. Sepertinya, pemahaman seperti ini yang takkan pernah masuk bagi para pejabat yang memiliki berbagai kepentingan.
Sebagai khalifah, pada dasarnya manusia memiliki tugas untuk memanfaatkan, mengelola, dan memelihara alam semesta. Allah telah menciptakan alam semesta untuk kepentingan dan kesejahteraan semua makhluk-Nya, khususnya manusia. Bukan malah merusaknya. Keserakahan dan perlakuan buruk sebagian manusia terhadap alam pada saat ini, jelas dapat menyengsarakan manusia itu sendiri. Tanah longsor, banjir, penebangan dan pembakaran hutan, kekeringan, tata ruang daerah yang tak karuan, dan udara serta air yang tercemar adalah buah kelakuan dari kita sebagai manusia yang justru merugikan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Dalam Surah Al A’raf ayat 56-58, Allah menyinggung juga soal Peduli Lingkungan. Firman-Nya: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadanya rasa takut (tak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat Nya (hujan) hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu. Maka kami keluarkan dengan sebab hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanam-tanamannya tumbuh dengan seizin Allah, dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami)bagi orang-orang yang bersyukur.”
Bumi yang kita tempati ini adalah milik Allâh Azza wa Jalla, kita cuma sementara saja tinggal, numpang, ngontrak istilahnya sampai batas waktu yang ditetapkan. Dan, karena kita diberi amanah ini oleh Sang Majikan, maka kita tak boleh semena-mena mengeksplorasi alam tanpa memikirkan akibat yang muncul.
Allah menciptakan alam ini bukan tanpa tujuan. Alam ini merupakan sarana bagi manusia untuk melaksanakan tugas pokok mereka yang merupakan tujuan diciptakan jin dan manusia. Alam adalah tempat beribadah hanya kepada Allah semata. Syariat Islam sangat memperhatikan kelestarian alam, meskipun dalam kondisi jihad fi sabilillah.
Kaum Muslimin tak diperbolehkan membakar dan menebangi pohon tanpa alasan dan keperluan yang jelas. Kerusakan alam dan lingkungan hidup yang kita saksikan sekarang ini merupakan akibat dari perbuatan umat manusia. Jika dalam kondisi perang saja, Islam sudah mengatur soal pelestarian alam. Ini malah dalam kondisi tak perang, justru pelestarian alam malah dijungkir balikkan dengan berbagai argumen.
Namun, sesungguhnya, apa yang terjadi pada Pulau Sempu dan Gunung Tangkuban Perahu saat ini, sepertinya telah sesuai dengan firman-Nya dalam Surat Ar-Rum ayat 41; “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Wallahu a’lam bisshawab.
***
Dikutip dari Edelwies Basah